Senin, 27 Juni 2011

Refleksi Kebangsaan dan Demokrasi (bagian kelima)


Argumentasi Atas Rute yang Dijalani

“Mencapai Kemajuan Besar Bangsa”         

Oleh: Lendy W Wibowo

Pada gambar di samping terlihat (kotak penyadaran), adalah jembatan bagi perubahan kearah tahapan berikutnya (kesadaran fungsional dan kesadaran kritis). Suatu bangsa dapat mencapai kemajuan besar dalam waktu cepat. Beberapa contoh dapat disebutkan bagaimana kesejahteraan dapat dicapai melalui quantum dan lompatan yang sangat cepat. Dua negara raksasa asia yang dianggap kini berada dalam lintasan quantum yang maha dahsyat adalah China dan India. Sejak Mao Tze Tung mencanangkan suatu vision mengenai apa yang disebut “Lompatan jauh ke depan”, saat ini kita dapat melihat betapa China menjadi kekuatan baru dunia, bahkan dalam banyak indikator jauh melampaui kekuatan Amerika. Produk-produk China bahkan kini membanjiri pasar dunia. India adalah negara yang tumbuh cepat dengan paham yang dianut sejak Gandi, yakni swadesi, membangun kecintaan dan komitmen terhadap produk-produk dalam negeri. Negara-negara yang disebut sebagai BRIC (Brazil, Rusia, India, China) adalah kekuatan baru dunia dimana secara ekonomi, militer, sumberdaya sangat diperhitungkan. Ke depan negara-negara ini akan menjadi kekuatan baru menggantikan kekuatan lama (Eropa dan Amerika).

Fasilitator adalah kader bangsa. Setiap kader bangsa harus menempatkan dirinya menjadi bagian atas jalannya sejarah. Sejarah bangsa Indonesia melalui demokrasi mestinya menjadi basis keyakinan kolektif kita. Kader bangsa di dalam dirinya diisi dengan visi besar mengenai bangsa yang bermartabat, bangsa bisa bekerjasama dalam semangat berdiri sama tegak dengan bangsa lainnya, bangsa yang tidak rela penduduknya menjadi pengemis dan budak bagi bangsa lainnya, bangsa yang tidak menyediakan dirinya diatur oleh bangsa lainnya. Visi besar ini dapat dicapai melalui perubahan jalannya sejarah, melalui lompatan jauh ke depan. Mencapai kemajuan besar dalam waktu cepat harusnya menjadi tekad setiap kader bangsa.

Mencapai kemajuan besar bangsa terkait dengan nilai kebangsaan dan demokrasi. Agenda ini membutuhkan dukungan segenap kader bangsa. Kader bangsa yang digembleng dalam PNPM MPd memberikan kontribusi adanya bangunan komitmen dan kolektifitas. Selain itu kader bangsa menyumbang dalam ketuntasan pembangunan partisipatif. Jadi ketika ada pertanyaan tentang apa yang disumbangkan fasilitator terhadap pencapaian kemajuan besar dalam waktu cepat, maka jawabannya adalah dalam hal derajad yang cukup terhadap kualitas pembangunan partisipatif.

Rincian agenda yang perlu diperkuat dan menjadi tugas fasilitator adalah mendampingi masyarakat dalam dinamika kebiasaan baru, membangun kesepakatan dan aturan main baru, suatu mentalitas baru yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan besar bangsa. Kebangsaan dan demokrasi didaratkan dalam ruang hidup para pelaku di lapangan.
Argumentasi mengenai rute yang harus dijalani fasilitator dalam konteks ini terkait dengan pelembagaan sistem. Pelembagaan sistem yang dimaksudkan adalah untuk memberikan dukungan yang sistematis, sehingga vision lompatan jauh ke depan mencapai kemajuan besar dalam waktu cepat dapat dikenali sebagai rute yang harus ditempuh. Rute yang menjadi ruh terhadap langkah dan tahapan teknis keproyekan yang biasanya menghampiri tunggal sebagai manifesto awal kerja program. Saat inilah apa yang disebut sebagai momentum perubahan itu telah tiba.

Sebagai momentum karena langkah persiapan telah dikerjakan selama ini dengan semangat pantang menyerah para pelaku. Persiapan (pengalaman) yang ada bertemu dengan kesempatan terwujud dalam bentuk agenda pengintegrasian program dalam pembangunan reguler. Apakah yang menjadi pancatan lompatan jauh ke depan? Maka jawabannya adalah apa yang dikerjakan dalam 3 tahun ke depan. Jika 3 tahun ke depan, diantaranya adalah membangun praktek kerja yang berperspektif dalam keseharian, maka salah satu perspektif yaitu kebangsaan dan demokrasi akan mampu menghantar pada terwujudnya kemajuan besar bangsa dalam waktu cepat. Maka marilah kita temukan nilai kebangsaan demokrasi dalam praktek kerja sehari-hari kita, makin bertambah, meluas dan berpengaruh. Perubahan menemukan momentumnya ketika sebagai program PNPM MPd meluncurkan PNPM Integrasi. Penyesuaian pendekatan program sebagai suatu keniscayaan, adanya perubahan sosial, memenuhi tuntutan konsumen atau dalam hal ini tuntutan rakyat (Eko Sriharyanto, 2010).

Fasilitator harus menjadi penghantar yang andal. Penghantar dari periode tindakan teknis-mekanistis masyarakat menuju tahapan kesadaran fungsional dan kesadaran kritis. Beberapa ide untuk mengantarkan tingkat kekritisan (logis, analitis, ideologis) tanpa memperhitungkan tingkat kesiapan para pelaku (fasilitator dan masyarakat) hanya akan melahirkan ‘kegenitan pewacanaan’, demikian juga sebaliknya, jika kita biarkan ruang kerja pelaku hanya pada pemenuhan kebutuhan proyek semata, berarti kita seperti mendiamkan orang tenggelam. Mengentaskan keadaan dekaden adalah tugas mendesak para pelaku yang telah diberikan bekal 5 koridor pemberdayaan. Keadaan dekaden diatasi diantaranya melalui membangun nilai kebangsaan dan demokrasi. (bersambung)

Refleksi Kebangsaan dan Demokrasi (bagian keempat)


Masalah yang Menjadi Perhatian

Oleh: Lendy W Wibowo

Jika praktik kerja fasilitator gagal dihadirkan sebagai upaya penyadaran (istilah dalam dunia pemberdayaan) ataupun perbincangan berperspektif (kaidah berpikir kritis), maka praktik akan berjarak atau bahkan kehilangan perspektif. Hal itulah fase/tahapan perkembangan teknis masyarakat (Parson), akan gagal menjangkau relasi fungsional yang utuh, yakni ketika suatu peran dilakukan tidak hanya sebatas atas rumusan tupoksi tetapi juga melibatkan akal sehat, analisa suatu masalah, dan pemihakan/ideologi yang menjadi dasar keyakinan.

Disini ada masalah mendasar mengenai kegagalan merefleksikan atas tugas dan pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan yang dilakukan secara rutin gagal direfleksikan terhadap nilai-nilai dasar yang seharusnya melekat pada dunia pemberdayaan. Diantara nilai dasar itu adalah nilai dasar tentang kebangsaan dan demokrasi. Menyadari adanya kebutuhan pemahaman dinamis bahwa praktek kerja sehari-hari memberikan kontribusi terhadap bangunnya kesadaran kritis atas nilai kebangsaan dan demokrasi menjadikan elan vital para pelaku pemberdayaan. (bersambung)

Refleksi Kebangsaan dan Demokrasi (bagian ketiga)

Tugas Kita

Oleh: Lendy W Wibowo

Ruang kerja fasilitator bersama masyarakat, tidak luput dari jarak/kesenjangan kehendak dengan kenyataan di atas. Kehendak untuk menghadirkan terutama dalam perbincangan kritis, berbenturan dengan kenyataan adanya kesulitan menjangkau pemahaman dalam realitas keseharian. Padahal dalam praktiknya, apa yang telah dilakukan oleh masyarakat dan fasilitator merupakan implementasi dari abstraksi kebangsaan dan demokrasi itu sendiri. Ada banyak contoh kegiatan yang dipraktikan melalui PNPM sebenarnya bersumber dari nilai kebangsaan dan demokrasi. Tugas fasilitator adalah menarik garis induktif atas praktek kerja dengan perspektif besar kebangsaan dan demokrasi.

Tugas fasilitator dalam konteks ini adalah terlibat aktif dalam praktek kerja fasilitasi masyarakat sekaligus merefleksikan secara kritis sejauh mana implementasi nilai dasar kebangsaan demokrasi. 

Menarik garis induktif artinya menjadikan praktek kerja sebagai sumber bacaan utama, tentang bagaimana realitas dibangun melalui kerja dan bukan pewacanaan belaka (Bito Wikantosa, 2010). Jika kebangsaan dibangun melalui dasar adanya kehendak untuk bersatu, adanya willingness  untuk mengikatkan diri pada kebersatuan, maka nilai dasar ini dalam praktek kerja harusnya dapat dicapai melalui peningkatan kualitas kehendak untuk bersatu, untuk memajukan desa, untuk menanggulangi kemiskinan dan sebagainya.(bersambung)

Refleksi Kebangsaan dan Demokrasi (bagian kedua)

Jarak Kehendak dan Realitas

Oleh Lendy Wibowo

Jarak menentukan kecepatan. Perbincangan mengenai kebangsaan dan demokrasi dikalangan pelaku PNPM MPd terdapat jarak. Jarak itu antara ruang kerja dan tema perbincangan. Hal ini dilatarbelakangi adanya kesulitan mendaratkan ide, konsep, teori kebangsaan dan demokrasi dalam keseharian ruang kerja pelaku pada umumnya. Dalam banyak hal, perjumpaan kita mengenai hal itu hanyalah dalam bayang teori, ideologi yang menghentak serta abstraksi yang mengayun di langit gelap. Keadaan ini tidak dipungkiri terjadi karena sebagaimana Ben Anderson katakan, bahwa diskursus kebangsaan dan demokrasi menjadi hak milik penguasa, tetapi rakyatlah yang menjalankan, merasakan, dan membayangkannya (komunitas terbayang, 1983).

Wawasan kebangsaan sendiri dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya (Parson, teori sistem). Oleh karena itu, dalam konteks tulisan ini, ruang hidup para pelaku program, menjadi sumber belajar berperspektif terkait dengan nilai kebangsaan dan demokrasi.(bersambung)

Refleksi Kebangsaan dan Demokrasi (bagian pertama)

Pengantar Kritis

Oleh: Lendy Wibowo
________________________________________________


“Kita semua adalah fasilitator, yang membedakan adalah persamaannya”
“Yang kita lakukan bergandeng erat dengan nilai kebangsaan dan demokrasi”
“Mengatasi keadaan dekaden adalah tugas mendesak para pelaku. Keadaan dekaden diatasi diantaranya melalui membangun nilai kebangsaan dan demokrasi”
___________________________________________

Apakah kebangsaan dan demokrasi itu ada dalam pengalaman kerja kita? Apakah kehadirannya dipaksakan ataukah natural di dalam perasaan, pikiran dan tindakan kita? Dan ketika hal itu hadir seberapa mampu mengungkit serta menghela semangat serta spirit kerja kolektif?.

Pertanyaan di atas menurut hemat penulis menjadi penting ketika kerja tidak sekedar dipahami sebagai ritual rutin, memenuhi kebutuhan material untuk diri sendiri dan keluarga. Ketika kerja dipandang sebagai  amal kebajikan maka di dalamnya terkandung nilai-nilai. Diantara nilai-nilai itu adalah memperjuangkan nasib orang miskin dan terpinggirkan.

Memperjuangkan nasib orang miskin bukan sekedar persoalan material semata, tetapi memperjuangkan agar mereka memperoleh harkat, martabat, dan derajadnya. Orang miskin merdeka terhadap segala penjajahan  material baik sebagai paham maupun tindakan, serta orang miskin berdaulat atas diri mereka sepenuhnya guna memperoleh perikehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Membangun jalan dan jembatan, gedung sekolah, polindes dan modal murah bagi rakyat adalah satu langkah memperjuangkan nasib orang miskin. Akan tetapi hal itu jelas tidak cukup. Yang perlu kita kritisi adalah apakah dalam dimensi bersama pelaku dan masyarakat dalam kaitan PNPM ini sudah terbangun nilai-nilai kebajikan dan keutamaan? Kalau tidak, maka kita akan berada dalam kerugian. Dikatakan orang, bagai mengejar tinggi gunung padahal takkan lari gunung dikerjar, dapat capeknya saja dan sekedar imbalan pelepas dahaga.

Seperti membangun jasad tanpa ruh. Bukan memberdayakan akan tetapi malah memperdayai. Nilai-nilai (ruh) itu adalah kemandirian dan bukan ketergantungan, kedaulatan dan bukan ketidakberdayaan, persamaan hak dan bukan dominasi, permusyawaratan dan bukan politik dagang sapi, mencapai hikmah kebijaksanaan dan bukan memenuhi kehendak sendiri, persamaan nasib sesama dan bukan ketidakpedulian sosial. Nilai-nilai ini adalah nilai-nilai kebangsaan demokrasi dalam ruang hidup kita.

Oleh karenanya jika masyarakat menjadi hamba materi dan merelakan dirinya menjadi budak di negeri asing, dan menjadi koruptor dari mandat yang dibebankan, maka siap-siaplah bangsa ini akan menjadi bangsa budak bagi bangsa-bangsa lainnya di tengah melimpahnya kekayaan alam yang diamanahi. Nilai-nilai ini diharapkan menjadi inspirasi kritis dalam tulisan, kebijakan, modul, pelatihan, supervisi, pembimbingan, serta pelaksanaan bersama masyarakat. (bersambung)


Jumat, 04 Maret 2011

Kemiskinan dan Ketimpangan

Paradoks di tengah Optimisme Pertumbuhan Ekonomi
(Lendy Wibowo)
Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu semakin menekan rakyat. Agar bertahan hidup, sebagian penduduk terpaksa berutang atau mengurangi makan. Namun, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.
(Kompas, Jumat 7 Januari 2010).

Menurut laporan IMF, Indonesia ditempatkan sebagai negara tercepat dalam pertumbuhan PDB nominal, yakni sebesar 12,8 persen mengalahkan Rusia (12,5 persen), China (12,3 persen), India (11,8 persen), Brasil (11,8 persen), Turki (9 persen), Korsel (8,7 persen), Jepang (4,3 persen) dan AS (4,2 persen). (Kompas, Sabtu 8 Januari 2011).

Gambaran di atas ingin menunjukkan kondisi paradox di tengah upaya Pemerintah memberi harapan mengenai capaian kinerja ekonominya. Realitas kemiskinan menunjukan betapa banyak manusia Indonesia makin terdesak, tertekan, bahkan bunuh diri karena beban hidup. Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu telah menekan kehidupan rakyat. Kasus bunuh diri, meninggal sekeluarga akibat keracunan makanan (makanan tidak layak secara kesehatan) setidaknya di sampaikan Kompas (7 dan 8 Januari 2011) telah terjadi di Kabupaten Cirebon, Kebumen dan Jepara. Sementara pada bagian lain Pemerintah masih menyampaikan keberhasilan pembangunan ekonomi dan bahkan optimismenya, sampai periode 2014 pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8 persen dengan PDB mencapai 1 trilyun dollar AS atau setara Rp 9.000 trilyun.

Pertumbuhan ekonomi terkait dengan pengurangan pengangguran, dan GDP mencerminkan kekuatan ekonomi yang dimiliki bangsa berhadapan dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan dalam kesempatan lain, Presiden SBY menyampaikan bahwa dengan capaian seperti ini sampai 2014 dan berlanjut sampai 2025 nanti, maka Indonesia akan masuk jajaran 10 besar Negara dengan tingkat GDP terbesar di dunia. Kasus kekurangan makan, kehilangan harapan hidup dan harus mengakhiri hidup di tengah masyarakat kita makin membuktikan bahwa mereka adalah warga negara yang tak terbaca dalam strategi perekonomian Indonesia, maka kemiskinan dan ketimpangan bagai sisi lain dari narasi keberhasilan pertumbuhan ekonomi, dan inilah paradox itu.

Senin, 28 Februari 2011

Kontrol Publik dan Gerakan Rakyat

Dalam situasi tertentu, publik selalu mempunyai cara dan medianya sendiri. Manakala kepentingan rakyat makin berjarak dengan kepentingan penguasa, sementara jalur ‘normal’ tidak lagi bisa diharapkan secara efektif maka rakyat akan mengambil jalur gerakan melalui tekanan publik. Bentuk yang dipilih sangat beragam, mulai dari unjuk rasa, demonstrasi, publik hearing, sampai pada bentuk unik dan kreatif. Kreatifitas itu kadang berkolaborasi dengan kepentingan pasar, misalnya munculnya kaus dagadu, untuk menyuarakan protes dan sindirian melalui kaus yang diperjualbelikan. Contoh unik lain misalnya perlawanan budaya yang disuarakan melalui gerakan komunitas anti sinetron, komunitas hidangan berbasis lokal, gerakan revitalisasi wilayah domestik oleh kaum perempuan dan sebagainya. Budaya Samin adalah perlawanan kultural yang cukup populer di Jawa bagian tengah, terhadap hegemoni penguasa Belanda waktu itu, masih bertahan sampai sekarang. Yang harus diingat adalah bahwa kinerja pemerintah sangat berpengaruh terhadap kadar perlawanan dan gerakan rakyat. Relasi antara kinerja dengan gerakan perlawanan rakyat itu ditentukan berdasarkan kualitas pengawasan dan tingkat kepuasan publik. (Lendy Wibowo)

Kontrol Publik dalam Relasi Rakyat dan Lembaga Mediasi Publik


Lembaga mediasi publik adalah organisasi yang memfokuskan kegiatannya pada kepentingan publik. Termasuk kegiatan kontrol publik, agenda yang ada di dalamnya dapat dimediasikan secara intens oleh lembaga ini. Beberapa contoh lembaga mediasi publik adalah ormas, partai politik, LSM dan sebagainya. Relasi rakyat dan lembaga mediasi publik biasanya efektif, karena isu dan agenda yang dibawakan terbatas pada ruang lingkup maupun waktunya. Beberapa agenda cukup efektif disuarakan oleh lembaga semacam LBH, Komnas HAM, Kontras, dan Lembaga Perlindungan Anak. Relasi yang dibangun bersifat terbatas, maka untuk isu yang meluas memerlukan strategi lain, misalnya membangun jejaring, aliansi dan sebagainya. (Lendy Wibowo)