Memperkuat
kedudukan desa menjadi isu penting di kalangan pelaku pemberdayaan masyarakat
seperti PNPM Mandiri perdesaan. Akan tetapi isu ini kurang mendapat dukungan
luas masyarakat desa sendiri. Hal ini tentu menjadi paradok, ketika persoalan
desa (dan perdesaan) lebih sebagai konsumsi kalangan elit (politisi, akademisi,
pelaku elit program). Persoalan desa akan lebih mudah ketika isu dan agenda
yang diusung lebih mencerminkan kepentingan paling aktual dari masyarakat desa
pada umumnya.
Membangun kesadaran dan kepentingan kolektif desa dapat terjadi
manakala hal itu didekatkan kepada persoalan kebutuhan dasar masyarakat terkait
persoalan pangan, sandang, papan, pendidikan dan
kesehatan serta terbangunnya iklim usaha ekonomi masyarakat yang sehat dan
berkembang. Akan tetapi justru wilayah ini kurang memperoleh respon dalam diskursus desa. Ide menjadi kurang populis karena kegagalan mendaratkan pada ingatan dan problematika keseharian rakyat desa.
Negara
(Pemerintah) telah menetapkan kewenangan dan urusan yang ditangani oleh desa
demikian juga dengan dukungan anggaran berupa alokasi dana desa yang bersumber
dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. PP No. 72/2005 tentang Desa, menekankan
pentingnya kemandirian desa, perencanaan pembangunan desa yang lebih tertata,
kapasitas kepala desa dan perangkat desa meningkat, serta sumber-sumber
keuangan desa yang semakin baik. Untuk mengoptimalkan dana desa tersebut,
Pemerintah berharap desa-desa memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMDes) lima tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) satu tahun.
Di pihak lain desa memiliki permasalahan mendasar yang
perlu segera diatasi. Permasalahan-permasalahan desa diantaranya adalah: belum
optimalnya peran pemerintahan desa, masih terbatasnya alternatif lapangan kerja
di desa yang berkualitas, rendahnya akses terhadap sumber-sumber permodalan, dan rendahnya
ketersediaan serta akses terhadap sarana dan prasarana sosial dasar. Apakah permasalahan-permasalahan ini mampu dipecahkan dengan model pendekatan konsolidasi perencanaan dan penganggaran teknokratis partisipatif ala RPJMDes dan RKPDes?
Seringkali persoalan desa disikapi pada kebutuhan layanan administratif, padahal ide dan gagasan yang dibangun tentang desa jauh lebih besar dari itu. Tetapi justru pada konsentrasi layanan administratifpun ada beberapa permasalahan yang belum terpecahkan. Sekedar untuk menggambarkan permasalahan elementer terkait pelayanan pemerintahan desa misalnya sebagian kantor desa yang hanya
melayani masyarakat setengah hari kerja (hanya sampai dhuhur), lamanya
pengurusan dokumen (KTP, surat keterangan) yang dibutuhkan masyarakat desa, belum terampilnya aparat desa dalam mengelola administrasi surat menyurat,
kearsipan, atau pembukuan serta keuangan sehingga pekerjaan yang dibebankan
kepadanya menjadi tertunda dan terbengkalai.
(Lendy W Wibowo @2012)

Sepertinya pada UU 32 th 2004 belum jelas dalam kewenangan negara terhadap desa, karena prinsip desentralissi dan otonomi luas pada UU 32, kewenangan desa banyak di intervensi pemerintah daerah dan kewenangan desa lebih diatur oleh pemda. Ini permasalahan mendasarnya, sehingga desa rawan terhadap kekuatan supra desa. Kekuatan politik di tingkat Kabupaten justru menciptakan ketidak berdayaan desa. Kuncinya Perjelas kewenangan desa sebagai daerah otonomnya dan perkuat kapasitas aparatur desa, dengan memperkuat program-prgram berbasis kecamatan dan Kabupaten.
BalasHapus.....good poin sepakat dan rekomendasi sampean kena. Tetapi bagaimana menjelaskan perspektif bahwa penyiapan otonomi desa yg utuh tidak boleh meninggalkan daerah, karena menurut mereka itu sama dengan memindahkan bom waktu ke pusat. Relasi desa terhadap pusat bersifat langsung, mungkinkah pusat siap dan mau?
BalasHapus