Jumat, 27 April 2012

Refleksi: Kebangsaan dan Demokrasi (bagian keenam)


Referensi penggerakan
Betulkah ruang kerja fasilitasi melahirkan praksis nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi?. Kegiatan apa saja yang mestinya terkait dengan kristalisasi nilai hidup induktif kebangsaan dan demokrasi?. Bagaimana membangun perspektif yang ditarik dari persoalan ruang hidup bekerja para pelaku di lapangan?. Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dipecahkan manakala secara bertahap dilakukan banting stir terhadap pendekatan kunci yang kita terapkan. Pendekatan yang lebih menekankan pada penemuan kembali hakekat pemberdayaan (penyadaran kritis, peningkatan kapasitas masyarakat, pengorganisasian dan penggerakan) dibenturkan pada daya refleksi kritis atas prinsip dan diperkuat dengan 5 koridor pemberdayaan (kader-kaderisasi, pengorganisiran, hak rakyat, kontrol publik, dan militansi pelaku).

Nilai kebangsaan
Praksis nilai kebangsaan dapat diidentifikasi melalui perumusan nilai dasar kebangsaan yang diambil dari beberapa sumber (Ben Anderson, Renan, Rudolf Kjellen) meliputi
a.     Kehendak untuk bersatu
b.     Jiwa dan rasa yang menyatu
c.      Pluralisme
d.     Persamaan nasib baik
e.     Persamaan nasib malang
f.      Persamaan tujuan
g.     Bayang kesatuan hidup komunitas
h.     Kemerdekaan
i.       Sumpah kesatuan

Apakah nilai-nilai di atas berkaitan dengan ruang hidup kerja para pelaku? Kalau benar, maka secara kolektif kita harus mencari benang merah yang mempertautkan nilai-nilai kebangsaan tadi dengan praksis kerja program. Misalnya bagaimana kehendak untuk bersatu dipraktekkan dan untuk kebutuhan apa hal itu diperlukan?, kemudian tentang pluralisme, apakah pengertiannya, pada bagian mana saja di program nilai pluralisme tadi diterapkan, ada ide atau gagasan baru apa agar semangat pluralisme diperkuat?, atau adakah gejala terjadi ancaman terhadap pluralisme? Misalnya saat rekruitmen calon fasilitator yang sangat mengutamakan putra daerah dan mengabaikan kapasitas dan kesungguhan.

Nilai demokrasi
Praksis demokrasi bukanlah barang baru. Beberapa contoh lokal menunjukkan peran program dalam mendewasakan para pelaku dalam berdemokrasi, misalnya dalam penyelenggaraan musyawarah desa, antar desa, mekanisme pemilihan pelaku masyarakat, mekanisme pengadaan barang dan jasa, mekanisme akses dana bergulir, mekanisme pelaksanaan kegiatan, mekanisme pengendalian kegiatan, mekanisme pelestarian kegiatan dsb.

Akan tetapi praksis demokrasi ini kurang terekspos sejauh mana memberi kontribusi dalam praktek demokrasi negara. Belum ada penelitian misalnya tentang kontribusi praktek demokrasi program terhadap penyelenggaran pemilu damai. Akan tetapi ada contoh konkrit di Madura, betapa para Klebun/kepala desa, saat ini pada umumnya sudah bisa menerima kekalahan ketika MAD prioritas usulan, dimana kondisi ini, saat awal-awal program tidak ditemukan. Kekalahan di MAD bagi Klebun saat awal program adalah hal yang harus dihindari karena memalukan kewibawaan mereka. Kini, keadaan di Madura telah berubah, sebagaimana daerah lain pasti juga telah berubah.

Secara teoritis nilai dasar demokrasi itu mencirikan:
  • Pengawasan atas kebijaksanaan pemerintah dilakukan secara konstitusional oleh wakil-wakil yang dipilih
  •  Wakil-wakil rakyat itu dipilih dalam pemilihan yang dilakukan secara jurdil dan tanpa paksaan, semua orang dewasa berhak memilih, semua orang dewasa juga berhak dipilih, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah politik tanpa ancaman hukuman
  • Setiap warganegara berhak memperoleh sumber-sumber informasi alternatif, yang memang ada dan dilindungi oleh hukum
  • Setiap warga negara berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan, (R Dahl, 1982).

Tugas kita adalah merumuskan keterkaitan praksis dengan rumusan normatif nilai demokrasi serta mencari gagasan baru mengembangkannya. Setelah itu perlu dirumuskan benang merah rumusan kebangsaan dan demokrasi dalam praksis aktual.

Terakhir mari kita simak pidato Bung Karno mengenai paham kebangsaan sebagai berikut:
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua!, bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi, Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!!! (pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, kelahiran Pancasila, di depan BPUPKI).

Ditulis oleh: Lendy Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar