Rabu, 10 Oktober 2012

RUU Desa dan Kerjasama Antar Desa



Kebuntuan yang Menyiratkan Harapan

BKAD dan Mediasi Kepentingan
Lendy Wibowo@Kelembagaan Lokal

Kebuntuan dalam proses pembahasan RUU Desa sekurangnya diakibatkan belum clear dalam beberapa pengaturan traffic relasi desa-pusat dan desa-daerah. Lebih-lebih relasi itu terkait dengan kewenangan, anggaran dan aset.

Bagi daerah, penguatan desa tidak boleh menampilkan desa yang memalingkan muka dari wajah daerah. Bagi pusat, penguatan desa tidak bisa dilakukan jika justru hal itu berarti seperti membesarkan anak macan.

Di tengah kerumitan itu terdapat jalan tengah yang bisa ditawarkan, yakni memperkuat perspektif kewilayahan. Desa dipandang sebagai suatu kawasan/perdesaan. Cara pandang kawasan bisa mempengaruhi psikologi otonom yang selfish menjadi otonom yang kooperatif.

Kerjasama desa seharusnya menjadi isu yang diampu di dalam RUU cukup dalam dan luas. Disitulah BKAD menjadi aktor penting yang seharusnya menjadi urusan/kepentingan ‘negara’ dalam konteks penguatan desa sebagai kawasan.

Kerjasama Desa
Peran ganda dan strategis desa yakni menyelenggarakan pelayanan pemerintahan sekaligus merepresentasikan kepentingan masyarakat desa. Posisi strategis desa menyangkut kewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sekaligus hak mendapatkan pelayanan publik hanya mungkin dapat dilakukan ketika desa telah memiliki kapasitas yang cukup sebagai subyek dan kolektiva otonom ketika berhubungan dengan kepentingan luar.

Pengertian subyektiva otonom ini penting dimaknai ketika berurusan dengan mediasi kepentingan desa-desa dalam suatu kawasan (perdesaan).

Peranan aktor mediasi kepentingan antar desa mencerminkan bangunan konsensional antar subyek (desa) yang mempunyai kepentingan bersama untuk memperjuangkan kepentingan itu pada saat berurusan dengan desa-desa lain (secara internal) maupun dengan pihak daerah serta pihak ketiga lain (secara eksternal).

Desa yang telah berada pada level bekerjasama dengan desa lain atau pihak ketiga lain berarti telah mampu mengelola potensi dan kekuatan yang dimiliki untuk berkembang dan bekerjasama. Desa-desa inilah yang mendekati gambaran tentang desa mandiri atau desa yang berdaulat. Jika kesadaran tidak tumbuh dalam relasi kerjasama yang dilakukan, maka sulit dihindari anggapan bahwa kerjasama itu bersifat semu.

Isu Strategis Kerjasama Desa
Isu strategis penguatan desa yang dimediasikan dalam skala dan cakupan antar desa diantaranya menyangkut isu pengembangan aset desa, komitmen pengalokasian anggaran untuk desa, serta kebijakan tentang pengembangan pasar yang mendorong tumbuhnya sektor dan kawasan ekonomi perdesaan.

Badan Kerjasama Antar Desa
BKAD adalah organisasi kerja yang diharapkan mampu mendorong kerjasama desa berkembang. Ada beberapa alasan tentang hal ini, yakni bahwa BKAD mempunyai lingkup wilayah antar desa, berperan sebagai lembaga dalam mengelola perencanaan pembangunan partisipatif, mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan kerja sama antar desa, menumbuhkan usaha-usaha pengelolaan aset produktif, serta mengembangkan kemampuan pengelolaan program-program pengembangan masyarakat.

Pendasaran Legal BKAD
BKAD dibentuk berdasarkan UU 32/2004, PP 72 dan 73/2005, pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan bagi perlindungan dan pelestarian hasil-hasil PPK, sesuai dengan Surat Edaran Mendagri pada Agustus 2006. Sesuai PP 72 tahun 2005, bidang-bidang yang dapat dikerjasamakan adalah peningkatan perekonomian masyarakat desa, peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, pemanfaatan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan, serta sosial budaya.
Bidang-bidang ini selaras dengan kegiatan yang selama ini telah dilakukan melalui PPK/PNPM Mandiri Perdesaan.

Pengembangan BKAD
Penjabaran tugas pokok dan fungsi BKAD di atas dilakukan berdasarkan hasil-hasil pengalaman PPK/PNPM Mandiri Perdesaan. Hasil-hasil pengalaman PPK/PNPM Mandiri Perdesaan tidak hanya aset produktif yang dikelola UPK, akan tetapi meliputi sistem perencanaan, kegiatan antar desa, pengembangan aset produktif, serta kemampuan mengelola program masyarakat.

BKAD juga menjadi organisasi kerja yang mengkoordinasikan fungsi kelembagaan masyarakat di tingkat komunitas. Konsep pengakaran lembaga yang sudah menjadi komitemen dalam Pedum PNPM, harus dapat diwujudkan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan yang memadukan pola hubungan fungsional dan bertumpu pada akar lembaga komunitas. Lembaga komunitas sebagai basis kekuatan BKAD ke depan dapat terdiri dari RT/RW/dusun/jurong, nagari dsb. Dalam kaitan inilah maka BKAD dapat berfungsi untuk menggerakkan kembali semangat revitalisasi lembaga lokal/adat. Pendekatan pemberdayaan dalam CDD pada tahapan sekarang sudah mulai memadukan penguatan modal sosial dan menumbuhkan solidaritas sosial. Penguatan modal sosial dan solidaritas sosial akan menggerakkan peningkatan kegiatan kerja sama, akses dan jaringan sosial, menggerakkan fungsi produksi dan reproduksi sosial dan sebaginya. Pada konteks inilah maka menumbuhkan kembali semangat budaya lokal menjadi tugas strategis BKAD.

Dalam menjalankan tugas pengelolaan perencanaan pembangunan partisipatif, BKAD juga memerankan diri sebagai komponen penting unsur masyarakat yang terlibat dalam pembahasan perencanaan di forum SKPD.

Beberapa fungsi yang dijalankan oleh lembaga  seperti Tim Penulis Usulan, Tim Pengelola Kegiatan, Tim Monitoring, Tim Pemelihara, adalah fungsi-fungsi yang berjalan dengan relatif baik selama ada program. Pemikiran untuk menjaga keberlanjutan fungsi didasarkan pada dua peluang. Peluang pertama dari aspek keberlanjutan kelembagaan dan peluang kedua berasal dari potensi kerja sama program. Keberlanjutan kelembagaan dipengaruhi di antaranya oleh ketersediaan perangkat peraturan yang relevan. PP 72/2005 mengamanatkan tentang penetapan dan pembentukan lembaga kemasyarakatan.

Lembaga kemasyarakatan mewakili ciri utama untuk mengidentifikasi lembaga lokal yang pada umumnya dibentuk melalui proses mobilisasi. Fungsi-fungsi yang termasuk dalam lingkup lembaga kemasyarakatan beberapa di antaranya adalah fungsi yang melekat pada lembaga bentukan program. Dalam pengertian inilah maka fungsi-fungsi TPU, TPK, TM, TP, akan dikuatkan secara kelembagaan baik secara fungsi maupun legitimasi dalam kerangka lembaga kemasyarakatan desa. Secara fungsi keberadaan lembaga-lembaga ini dapat tetap bersifat sementara, tetapi secara legitimasi melekat ke dalam lembaga permanen yang ada.

Bersambung

Jumat, 21 September 2012

RUU Desa dan Aset Desa




RUU Desa masuk pembahasan krusial pada akhir tahun ini. Sayangnya dalam pembahasan yang sempat terekam media maupun disampaikan secara langsung oleh beberapa pihak, isu-isu mendasar dan strategis justru tidak menjadi perbincangan publik yang serius. Diantara isu itu adalah tentang aset desa, kerjasama desa, kewenangan desa dsb. Tulisan ini diharapkan mampu mempengaruhi para pihak akan arti penting isu aset desa diakomodasi dalam RUU Desa ke depan.

Kepentingan kolektif desa dan antar desa yang paling utama adalah bagaimana memperkuat aset masyarakat dan aset desa. Persoalan aset masyarakat dan aset desa menjadi penentu mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Aset selain berhubungan dengan kepemilikan sehingga menentukan posisi tawar masyarakat (dan desa) ketika berhubungan dengan pasar, juga berkaitan dengan konsolidasi serta distribusi kekayaan masyarakat (dan desa). Dua faktor inilah yang paling menentukan untuk mengukur tingkat otonomi dan kemandirian desa.

Dalam konteks aset publik maka isu strategis bagi desa adalah mengenai manajemen aset-aset desa. Aset desa membicarakan kepentingan mengenai upaya-upaya inventarisasi, pengembangan serta pendistribusiannya kembali. Benturan kepentingan menjadi fakta yang tidak bisa dihindari ketika desa memperkuat diri, apalagi pada saat masuk wilayah yang paling sensitif mengenai inventarisasi dan manajemen aset desa. Benturan yang paling mungkin terjadi ketika desa yang telah mempunyai perspektif membangun kemandirian bertemu dengan kebijakan daerah yang mencurigai semangat penguatan desa. Potensi konflik ini diharapkan dapat dijembatani secara bertahap melalui peran mediasi kepentingan antar desa oleh BKAD.

Tentu banyak pihak mengetahui perubahan status kepemilikan aset desa. Banyak aset desa yang telah berpindah tangan baik untuk kepentingan publik maupun untuk kepentingan privat. Banyak perubahan status itu dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Pelanggaran aturan itu terjadi dilakukan melalui tekanan politik, keuntungan ekonomi, maupun bentuk lain. Perubahan status tanah desa menjadi milik daerah, swasta perorangan dan swasta korporasi makin sering dijumpai saat kita menggali hal itu ke desa-desa. Desa berada pada posisi lemah dalam relasi transaksi tentang aset yang mereka miliki. Inventarisasi aset desa merupakan langkah pertama dalam menyelamatkan aset desa.

Selanjutnya terkait bagaimana aset desa dikembangkan. Aset desa adalah barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban APBDes atau perolehan hak lainnya yang sah. Dalam upaya mengembangkan asset desa, maka desa sebenarnya dapat melakukan penyertaan modal berupa pengalihan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal atau saham Desa pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki oleh Desa atau Daerah. BKAD diharapkan mengkaji bentuk-bentuk penyertaan modal desa yang paling tepat sesuai dengan kondisi desa-desa yang ada.

Selain penyertaan modal, bentuk lain yang dapat dilakukan adalah pendayagunaan kekayaan desa yang tidak dimanfaatkan melalui bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun serah guna, bangun guna serah dengan tidak mengubah status kekayaan desa. Sewa adalah pemanfaatan kekayaan desa oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu untuk menerima imbalan uang tunai. Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan kekayaan desa antar Pemerintah Desa dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir harus diserahkan kembali kepada Pemerintah Desa yang bersangkutan. Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan kekayaan desa oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan desa bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Bangun guna serah adalah pemanfaatan kekayaan desa berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan. dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Bangun serah guna adalah pemanfaatan kekayaan desa berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.

Terkait distribusi hasil pengembangan aset desa, dalam perspektif politik menjadi penanda nilai strategis aset desa. Aset desa sebagai aset milik masyarakat (ownership by community), tidak hanya sekedar pengakuan dengan pendasaran legal, atau besaran hasil pengembangan dalam ukuran nominal ekonomi, akan tetapi sejauh mana manfaatnya bisa dinikmati oleh masyarakat.

Distribusi menyangkut pemanfaatan hasil-hasil pengelolaan aset. Aset desa tidak lagi bermakna aset pasif. Dalam terminologi ekonomi politik, bagaimana mengubah aset menjadi modal diletakkan dalam kerangka kepemilikan dan pemanfaatan oleh rakyat desa.

 Lendy Wibowo@Kelembagaan Lokal September 2012

Bersambung....

Kamis, 13 September 2012

RUU Desa dan Kedudukan Desa

Perspektif pemenuhan terhadap kebutuhan dasar serta membangun iklim usaha ekonomi masyarakat penting ketika dihadapkan pada pilihan pendekatan dalam strategi memperkuat desa. Jika perspektif yang diambil bersifat diametris, maka Negara (Pemerintah) dapat memilih apakah mengambil pendekatan yang bersifat pelayanan program karitatif (subsidi, stimulasi) atau pendekatan yang sama sekali berbeda, dimana menempatkan rakyat (desa) sebagai subyek yang berhak atas layanan negara dalam hal tersedianya kebutuhan dasar ini (model swakelola seperti PNPM). Pendekatan yang pertama lebih mencerminkan pandangan bahwa masyarakat sebagai obyek yang oleh karena lemah perlu ditolong dan dibantu. Sementara pendekatan yang kedua menempatkan masyarakat sebagai subyek otonom yang berhak meminta layanan negara. Pemerintah saat ini lebih memilih mengkombinasikan dua pendekatan ini dengan model 4 cluster sesuai kondisi dan kebutuhan yang dihadapi di masyarakat. 

Pandangan di atas tentu tidak bisa dilepaskan dari perspektif kedudukan desa. Desa dalam realitasnya, memiliki peran ganda yakni sebagai unit pemerintahan dan sebagai kesatuan masyarakat. Tentu realitas ini menampilkan tanda tanya tentang format otonomi desa seperti apa. Sebagai unit pemerintahan apakah kemudian desa dapat sebagai pemerintahan paling bawah sekaligus sebagai kesatuan masyarakat dan memiliki otonomi asli (kesatuan masyarakat hukum). Peraturan perundangan cenderung menempatkan desa dalam model campuran/peran ganda, artinya desa menjalankan fungsi administrasi pemerintahan sekaligus kesatuan masyarakat.

Meskipun begitu kecenderungan kebijakan lebih mendorong desa untuk diperkuat sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan dan agak meninggalkan perannya sebagai kesatuan masyarakat. Hal ini terlihat misalnya terkait dengan kebijakan yang menempatkan Sekdes adalah pegawai negeri sipil (PNS) sesuai PP Nomor 45 Tahun 2007 pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Pengangkatan sekdes sebagai PNS antara lain bertujuan untuk meningkatkan administrasi pemerintahan desa, meningkatkan pelayanan administrasi desa, serta meningkatkan administrasi kependudukan dan pertanahan.

Realitas di atas mencerminkan kedudukan desa terkait dengan peran, kapasitas dan dukungan kebijakan serta kedudukan desa terhadap masyarakat serta negara. Posisi dan kedudukan desa terhadap masyarakat bersifat pemenuhan kewajiban dan tangung jawab, sedangkan terhadap negara bersifat hak-hak yang seharusnya diterima. Tafsir atas otonomi desa menjadi penentu perlakuan negara terhadap desa. Otonomi desa yang bersifat otonom (asli) seharusnya ditafsir bukan sebagai hilangnya kewajiban dan tanggung jawab negara kepada desa.

Desa sebagai kesatuan masyarakat harus tetap diakui dan dihormati dalam bentuk, hak serta kewenangan asal usul (otonomi asli, UUD pasal 18), seperti Nagari di Sumatera Barat, Lurah di Jawa, Lembang di Tana Toraja, Kuwu di Cirobon dan Kampung di Papua. Selain itu desa diberikan kewenangan oleh negara untuk mengelola urusan-urusan tertentu (otonomi yang diberikan/azas desentralisasi). Desa juga dapat menerima pendelegasian tugas administrasi sebagai tugas pembantuan.

Perspektif di atas berpengaruh terhadap peran desa serta bentuk kewajiban dan tanggung jawab negara dalam tiga kategori:
  1. Dalam kedudukan desa sesuai otonomi asli, maka negara berkewajiban memberikan pengakuan, penghormatan dan bantuan sekalipun desa itu tidak menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Pengakuan, penghormatan dan bantuan  ini dituangkan dalam UU dan peraturan yang lebih teknis.
  2. Sedangkan desa yang menyelenggarakan otonomi yang diberikan negara, maka desa mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD). Dalam hal ini kewenangan desa berasal dari kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada desa (desentralisasi).
  3. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan maka kewenangan desa adalah kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintahan atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.

Sesuai UU 32/2004 pasal 206 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
  1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
  2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa
  3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota 
  4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.


    Oleh karena itu, sumber kewenangan desa menjadi kunci, sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang. Perspektif desa dalam kategori otonomi bersifat asli, otonomi yg diberikan, atau desa bersifat administratif seharusnya menjadi pemicu tafsir dan tindakan dinamis desa dalam merespon RUU desa saat ini.

     Kecenderungan komunitas desa yg makin terbuka membawa desa pada keadaan otonomi bukan asli atau bahkan hanya sebagai desa administratif, dipihak lain sikap dan pemikiran sebagian desa untuk tetap dalam otonomi asli juga perlu dihormati. Diperlukan konsensus baru pada tingkat lokal sebagai pilihan dan keputusan partisipatif yang layak dihargai negara (Pemerintah). Setiap pilihan membawa konsekuensi pada kewenangan dan anggaran desa tetapi yang lebih penting, negara telah membangun relasi yang dewasa dengan desa, otonomi yang direncanakan dengan matang termasuk dalam hal memperlakukan desa. Bisakah Musdes/MD merekomendasikan hal ini??

(Lendy@Kelembagaan Lokal NMC September 2012)

RUU Desa dan Masalah Desa


Memperkuat kedudukan desa menjadi isu penting di kalangan pelaku pemberdayaan masyarakat seperti PNPM Mandiri perdesaan. Akan tetapi isu ini kurang mendapat dukungan luas masyarakat desa sendiri. Hal ini tentu menjadi paradok, ketika persoalan desa (dan perdesaan) lebih sebagai konsumsi kalangan elit (politisi, akademisi, pelaku elit program). Persoalan desa akan lebih mudah ketika isu dan agenda yang diusung lebih mencerminkan kepentingan paling aktual dari masyarakat desa pada umumnya. 

Membangun kesadaran dan kepentingan kolektif desa dapat terjadi manakala hal itu didekatkan kepada persoalan kebutuhan dasar masyarakat terkait persoalan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan serta terbangunnya iklim usaha ekonomi masyarakat yang sehat dan berkembang. Akan tetapi justru wilayah ini kurang memperoleh respon dalam diskursus desa. Ide menjadi kurang populis karena kegagalan mendaratkan pada ingatan dan problematika keseharian rakyat desa.

Negara (Pemerintah) telah menetapkan kewenangan dan urusan yang ditangani oleh desa demikian juga dengan dukungan anggaran berupa alokasi dana desa yang bersumber dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota.  PP No. 72/2005 tentang Desa, menekankan pentingnya kemandirian desa, perencanaan pembangunan desa yang lebih tertata, kapasitas kepala desa dan perangkat desa meningkat, serta sumber-sumber keuangan desa yang semakin baik. Untuk mengoptimalkan dana desa tersebut, Pemerintah berharap desa-desa memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes) lima tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) satu tahun.

Di pihak lain desa memiliki permasalahan mendasar yang perlu segera diatasi. Permasalahan-permasalahan desa diantaranya adalah: belum optimalnya peran pemerintahan desa, masih terbatasnya alternatif lapangan kerja di desa yang berkualitas, rendahnya akses terhadap sumber-sumber permodalan, dan rendahnya ketersediaan serta akses terhadap sarana dan prasarana sosial dasar. Apakah permasalahan-permasalahan ini mampu dipecahkan dengan model pendekatan konsolidasi perencanaan dan penganggaran teknokratis partisipatif ala RPJMDes dan RKPDes?

Seringkali persoalan desa disikapi pada kebutuhan layanan administratif, padahal ide dan gagasan yang dibangun tentang desa jauh lebih besar dari itu. Tetapi justru pada konsentrasi layanan administratifpun ada beberapa permasalahan yang belum terpecahkan. Sekedar untuk menggambarkan permasalahan elementer terkait pelayanan pemerintahan desa misalnya sebagian kantor desa yang hanya melayani masyarakat setengah hari kerja (hanya sampai dhuhur), lamanya pengurusan dokumen (KTP, surat keterangan) yang dibutuhkan masyarakat desa, belum terampilnya aparat desa dalam mengelola administrasi surat menyurat, kearsipan, atau pembukuan serta keuangan sehingga pekerjaan yang dibebankan kepadanya menjadi tertunda dan terbengkalai. 

(Lendy W Wibowo @2012)