Paradoks di tengah Optimisme Pertumbuhan Ekonomi
(Lendy Wibowo)Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu semakin menekan rakyat. Agar bertahan hidup, sebagian penduduk terpaksa berutang atau mengurangi makan. Namun, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.
(Kompas, Jumat 7 Januari 2010).
Menurut laporan IMF, Indonesia ditempatkan sebagai negara tercepat dalam pertumbuhan PDB nominal, yakni sebesar 12,8 persen mengalahkan Rusia (12,5 persen), China (12,3 persen), India (11,8 persen), Brasil (11,8 persen), Turki (9 persen), Korsel (8,7 persen), Jepang (4,3 persen) dan AS (4,2 persen). (Kompas, Sabtu 8 Januari 2011).
Gambaran di atas ingin menunjukkan kondisi paradox di tengah upaya Pemerintah memberi harapan mengenai capaian kinerja ekonominya. Realitas kemiskinan menunjukan betapa banyak manusia Indonesia makin terdesak, tertekan, bahkan bunuh diri karena beban hidup. Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu telah menekan kehidupan rakyat. Kasus bunuh diri, meninggal sekeluarga akibat keracunan makanan (makanan tidak layak secara kesehatan) setidaknya di sampaikan Kompas (7 dan 8 Januari 2011) telah terjadi di Kabupaten Cirebon, Kebumen dan Jepara. Sementara pada bagian lain Pemerintah masih menyampaikan keberhasilan pembangunan ekonomi dan bahkan optimismenya, sampai periode 2014 pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8 persen dengan PDB mencapai 1 trilyun dollar AS atau setara Rp 9.000 trilyun.
Pertumbuhan ekonomi terkait dengan pengurangan pengangguran, dan GDP mencerminkan kekuatan ekonomi yang dimiliki bangsa berhadapan dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan dalam kesempatan lain, Presiden SBY menyampaikan bahwa dengan capaian seperti ini sampai 2014 dan berlanjut sampai 2025 nanti, maka Indonesia akan masuk jajaran 10 besar Negara dengan tingkat GDP terbesar di dunia. Kasus kekurangan makan, kehilangan harapan hidup dan harus mengakhiri hidup di tengah masyarakat kita makin membuktikan bahwa mereka adalah warga negara yang tak terbaca dalam strategi perekonomian Indonesia, maka kemiskinan dan ketimpangan bagai sisi lain dari narasi keberhasilan pertumbuhan ekonomi, dan inilah paradox itu.